Peristiwa malam kemarin masih menyesakkan. Si telon yang
kupanggil Cantik, mendusel kepala anaknya, menjilatinya, memberikan lengannya sebagai
alas kepala. Pemandangan yang membuatku tergugu. Pada setengah 3 pagi aku
menyerah, “Cantik, temani anakmu ya...” Lalu pada paginya kutemui bayi sudah
kaku, menyerah pada entah sakit apa yang dideritanya.
Pada tiap mengurus anak (meong) yang sakit, perasaan tak
nyaman selalu membarengiku dalam perjalanan pulang ke rumah. Apakah ia masih
bertahan? Ataukah aku akan menjumpainya tubuh bekunya? Pun pada bayi telon.
Sejak umur 3 mingguan, kutemukan ada yang aneh pada perkembangannya. Diare.
Sudah lama tak mengurus bayi yang baru lahir, tapi rasanya belum pernah
kujumpai bayi yang masih diasuh ibunya, masih rutin minum asi, mengalami diare.
Selain diare, kulihat juga ada keanehan dalam gerak tubuhnya. Sempat kuminta
Naga Chan tanya ke teman-temannya: apakah wajar bayi umur sebulan belum bisa
jalan? Seperti halnya pada pertumbuhan bayi manusia, aku cukup memahfumi kalau
pada bayi kucing pun bakal tak jauh beda. Ada yang bisa jalan dengan cepat, ada
yang perkembangannya lambat. Tapi entah, rasanya ada yang tak beres. Saat
diarenya menjadi rutin, atas saran teman dan vet, kuputuskan untuk mensuply
makanan lembut, vitamin, dan cairan agar tak dehidrasi.
Bayi telon ini baik dan pintar. Langsung mau makan dengan
lahap. Tentu saja sambil kupegangi tubuh mungilnya, karena kaki-kaki kecilnya
tak sanggup menyangga sendiri, ambruk dan ambruk. Kujanjikan padanya, aku akan
merawatnya. Aku tak akan mencarikannya adopter. Sekalipun nanti ia tumbuh jadi
kucing yang catat. Aku ingin mengganti
rasa bersalahku pada BJ, yang pergi karena kurangnya kewaspadaanku.
Maka itulah yang kulakukan dari sejak beberapa hari ia
mengalami diare. Dari sejak Cantik kutaruh di rumah kosong untuk melahirkan,
kegiatan rutinku adalah memberinya makan dan bersih-bersih ruangan, tiap pagi
dan malam. Tapi keberadaan bayi tentunya beda. Butuh kesegeraan. Aku selalu
mendahulukan bayi sebelum anak-anak yang lain, anak rumah maupun teras. Pagi
sarapan makanan halus dan minum cairan vitamin. Meski kondisinya tak baik, bayi
pintar ini bisa menghabiskan minimal 2 sendok kecil (sendok obat) pada tiap
makan. Siang sebelum berangkat, satu sepetan minuman kembali kuberikan. Malam, aku
selalu pulang larut. Paling cepat jam 10 malam. Sekitar jam 11an biasanya baru
kutemui mereka. Makan malam, dan cairan vitamin/oralit. Semuanya lancar meski
tak terlihat perubahan signifikan. Hingga Jumat siang kujumpai ada pembengkakan
di pangkal lengan kiri depan. Serupa abses. Sabtu pagi kubawa dia menjumpai vet
yang hari-hari sebelumnya kumintai saran, karena tempat praktek yang terlewati
rute harianku.
Sungguh, bayi telon anak yang baik. Tabah dan tak rewel. Di
perjalanan dia hanya sesekali mengeong. Tiba di klinik, sambil menunggu antrian
dia asik jilat-jilat. “Matanya mata pejuang.” Begitu kata dokternya. Aku tahu pernyataan
itu menunjukkan bayi dalam kondisi tak baik. Selain abses di pangkal lengan,
ada pembengkakan di dekat anusnya. Ada beberapa kemungkinan, bisa jadi ada
masalah dalam penyerapan makanan di usus. Pada titik tertentu tiba-tiba
pertumbuhan fungsinya mandeg, tak sempurna. “Kira-kira bisa bertahan berapa
lama, dok?” Aku pun tahu harus bersiap dengan kemungkinan kematian. “Tergantung
daya tahan tubuhnya.” Untuk bayi semungil ini, berapa lama dia sanggup? Aku
tahu aku musti bersiap, tapi aku sedih membayangkan kehilangan itu. Ah, bayi
pinter...
Hari Sabtu, lalu Minggu, lalu Senin pagi, semuanya normal.
Dia makan banyak. Bahkan diarenya berkurang dan pupupnya sedikit lebih padat.
Ada tambahan vitamin baru yang diberikan vet dan disarankan memberi raw daging.
Pagi dia masih menghabiskan dua sendok bahkan lebih makanan halusnya. Malem
khusus kubelikan daging ayam buatnya, karena sedang tak sanggup beli daging sapi.
Beli seperempat dada ayam ditambah hati. ‘Buat bayi meong pinter ibu’, begitu
judulnya. Sabtu dan Minggu dia masih menghabiskan raw ayam cincang sampai
sesendok makan. Sangat menggembirakan. Lalu ada yang berbeda di malam kemarin.
Senin, jelang tengah malam kusiapkan cincang ayam. Sesendok
makan dicampur vitamin probiotik. Tanpa berprasangka apa-apa, kubawa ke rumah
mereka tinggal. Pada setiap aku buka gembok, akan terdengar meongan Cantik dari
dalam yang langsung ditingkahi bayinya. Tak pagi, tak malam. Selalu begitu.
Maka ketika malam itu, kubuka pintu dan tak kudengar suara bayi, perasaanku
sudah tak baik. Kunyalakan emergency lamp (pemberian tantenya Naga Chan, Ina
Rachman). Bayi menggeletak di lantai tengah ruangan. Sebagai gambaran, di
ruangan sekitar 3x4 itu kusediakan kandang kecil, kardus, keranjang, yang
masing-masing dialasi koran. Di beberapa titik juga kuletakkan koran agar si
kecil tak kedinginan kalau harus ambruk-ambrukan jalannya. Kali ini kulihat dia
teronggok di lantai. Diam. Lalu ia mengeong lirih. Oh my.. dia masih hidup. Badannya
berlumur air pipis dan pupup. Kulap dengan tisu. Coba kusepetin oralit. Sudah
menolak. Kusiapkan tempat bersih yang baru. Kubereskan ruangan. Sambil
bolak-balik ke rumah untuk menyiapkan jatah anak-anak yang lain.
Jam setengah satu malam. Dia masih bertahan dengan
kondisinya. Kuajak bicara, mengingat peristiwa-peristiwa sebelumnya. Mengingat
saat ia masih bermain sama mamanya, saat ia menggigiti jariku waktu kusuapin,
hingga kukatakan keikhlasanku kalau dia pergi. Dia masih berusaha bertahan,
dengan sesekali mengeluarkan rintihan yang bikin perih. Tubuhnya sudah tampak
payah, tak berdaya. Aku tak tega meninggalkannya. Aku tak mungkin membiarkannya
kaku dirubung semut. Aku pun berusaha bertahan. Cantik warawiri, seperti
bingung dengan apa yang terjadi. Sesekali ia mendatangi bayinya yang kuletakkan
di dalam kandang. Mengendus, lalu pergi. Kemudian tidur di atas kandang. Ketika
bayinya mengerang, dia turun, masuk ke kandang. Merebahkan diri di sampingnya.
Ia pun mungkin ngantuk dan lelah. Sambil terpejam lengannya merangkul anaknya.
Saat anaknya mengerang lagi, kepalanya terangkat. Setengah terpejam dia ciumi
kepala bayinya. Cantiiik...kamu baik banget. Dia yang kemarin sempat bikin
kesal karena menyerang semua kucing yang mendekat-bahkan melukai dua korban
bayi kucing yang terluka cukup parah, akhirnya bisa kumaklumi. Dia sayang bayinya.
Cantik sayang bayi semata wayangnya..
Jam setengah tiga. Bayi masih dalam kondisi sama. Kucium
telon jabrik, “Cantik, temani anakmu ya... Ibu perlu istirahat. Besok diusahain
bisa bangun lebih pagi.” Aku percaya Cantik tak akan membiarkan seekor pun
semut menyentuh anaknya. Pagi, terjaga jam setengah 7, kudapati bayi sudah
pergi. Aku hanya bisa minta maaf tak bisa menungguinya. Minta maaf tak bisa
membantunya bertahan untuk tumbuh besar jadi kucing yang cakep. Tapi dia
bersih, tanpa semut mengerubuti. Beberapa kucing luar yang pergi, kukubur di
halaman rumah kosong. Kali ini ‘kupaksakan’ mencari celah di halaman kecilku.
Dia, bayi pinterku, malaikat kecilku, tak tega kubiarkan sendirian.
Selamat jalan, bayi pinternya ibu 😢
No comments