Sepuluh tahun lebih berlalu-lalang di
jalan persawahan menuju rumah, belum pernah ada seekor kucing mendatangiku saat
kupanggil. Baru kali ini terjadi, perjumpaanku dengan bayi kucing di tengah
sawah, yang kemudian kunamai Wawa.
Pada berapa kali perjumpaan dengan
kucing liar di area sawah, kalau tak lupa berbekal makanan, biasanya kupanggil
mereka. Dan biasanya tak ada yang mau datang. Mereka tampak tak biasa dekat
dengan manusia. Jadilah makanan kering kutinggalkan di sebuah tempat, dan
mereka akan mengunyah makanan itu ketika aku beranjak pergi. Sebetulnya
bukannya sama sekali tak ada yang bersahabat. Jauh sebelumnya, pernah kubawa
pulang seseekor yang mengikutiku sepanjang jalan. Ketika itu bukan karena jatuh
iba, tapi karena unik. Kucing kuning belang putih itu berlari membarengi
motorku hingga jarak sekitar 150 meter. Aku berhenti, dia berhenti. Aku jalan,
dia ikut jalan. Lucu. Lalu aku berhenti dan membawanya di balik jaketku. Kucing
remaja itu kunamai Sunny, sempat beberapa lama tinggal di rumah dan
kusterilkan. Sehat dan ganteng. Seorang tetangga belakang rumah ingin
mengadopsi. Lalu entah kenapa dia tak pernah pulang ke rumah itu, entah pula
pergi kemana.. Ah, semoga Sunny ganteng baik-baik saja.
Ya, Wawa berbeda dengan Sunny. Pada
malam itu, gerimis mengiringi perjalananku. Pada sebuah titik terdengar meongan
kucing kecil. Duh, anak siapa juga bisa berada di jalanan area sawah? Aku
menghentikan motor, mencari arah suara. Seekor kucing kecil kuning-putih muncul
dari balik rumput semak. Kupanggil, kutunggu reaksinya. Dan dia mendatangiku!
Bayi kucing itu mendatangi motorku. Oh my..kamu masih terlalu kecil untuk
berada dia area ini, pusss.. Kugendong dia di dada, kujalankan motor
pelan-pelan hingga ke rumah. Dia tak berontak. Diam dan tampak menikmati
perjalanan.
Setelah beberapa hari karantina, Wawa
kecil menikmati kebebasannya. Menikmati perkenalannya dengan saudara-saudara
meong yang lain. Sempat kutawarkan adopsi. Tapi kubatalkan begitu ada yang
bertanya tentang 'berapa yang harus dibayarkan' untuk menebus Wawa. Langsung
bikin ilfeel, dan kuputuskan untuk merawat sendiri dengan harapan rejeki ke
depan makin baik. Terlebih setelah melihat keakrabannya dengan Amo, bayi kucing
yang kuadopsi lebih dulu. Dia menjadi kakak buat Amo. Berdua juga mereka
mengalami masa sulit, berjuang melawan diare. Dua kali. Dua kali secara
bergantian mereka menguji kesabaran ibunya untuk merawat mereka. Ah, kalian
anak-anak manis. Pastinya ibu akan berusaha.
Wawa memiliki mata yang kocak.
Hmm..bukan kocak sih, persisnya sayu. Bocah meong ganteng bermata sayu. Berbeda
dengan Amo yang sangat doyan makan; yang suka ganggu ibunya makan, Wawa lebih
mirip om-nya. Om Naga meong yang malas makan. Tapi Wawa aktif. Dia aktif
cenderung nakal. Naik pohon mah biasa. Sedari awal dia sudah mulai menjelajahi
area atap. Setelah dua kali diare parah, Amo-Wawa sehat-sehat saja. Hingga
kemarin, tiba-tiba Wawa lebih banyak diam dan tidur lebih lama. Pertanda sakit.
Tapi tak kuduga akan secepat itu. Kemarin dulu dia masih makan-minum biasa.
Kemarin malam, sampai rumah kudapati cairan muntahan. Tak salah lagi, Wawa
sakit. Kukarantina. Dan malam itu menjadi malam yang mencemaskan. Wawa kembali
muntah-muntah pada sepanjang malam. Makanan halus ditolak. Air madu dimuntahkan
lagi. Aku tahu ini di luar kemampuanku lagi. Pagi tadi kubawa ke vet. Opname.
Belum ada diagnosa, karena aku harus pergi. Pemeriksaan laboratorium belum ada
hasil. Berharap bukan sesuatu yang buruk. Berharap Wawa kembali sehat dan
kembali bermain bersama saudara-saudaranya.
Sehat lagi ya, Wawa, bocah meong
ganteng bermata sayu..
Update:
Wawa akhirnya menyerah, meninggal di
klinik. Menyusul kemudian anak kecil, kami memanggilnya si bayi, yang meninggal
di meja periksa. Panleu memang mengerikan. Hanya Amo yang berhasil lolos. Itu pun setelah lima hari opname, lanjut 10 hari karantina di rumah.
No comments