Ada
yang mengatakan, saat kucing sakit dan menyadari kematian yang akan segera
datang menjemputnya, ia akan pergi. Ia akan pergi meninggalkan rumah dan
keluarga manusianya. Aku mencoba menafikan ‘kata orang’ itu. Namun barangkali
kini, di penghujung tahun ini, aku akan menerima itu. Setelah lebih dari
setahun ia pergi dari rumah, akhirnya kucoba terima kemungkinan itu.
Kunamai dia Aka. Kalau dia masih ada, umurnya sekitar 7 tahun. Aku tak ingat
persis kapan mengadopsinya. Tak kujumpai foto-foto kecilnya. Foto terlama yang
kutemukan bulan Januari 2008. Dia sudah remaja.
Mungkin aku menemukannya
sekitar September 2007, di umur 3 bulanan. Aka kutemukan di bawah mobil
tetangga depan rumah. Batuk tanpa henti. Kudekati dia diam saja. Kuangkat
badannya tetap diam. Kuamati mukanya. Mirip Kapten, anak pertamaku. Dulu belum
kenal steril. Dulu suka berangan-angan membuat keluarga besar, Kapten beranak
pinak. Setelah Kapten mulai sering pergi dari rumah, aku terobsesi dengan
kucing yang menyerupai Kapten. Dari penampakannya, sebetulnya Aka tak mirip.
Bulunya putih-hitam/abu. Kapten punya warna bulu kucing sejuta umat. Tapi matanya
mirip. Ada sesuatu yang mirip. Begitulah, kunamai dia Aka, Anak Kapten.
Di
masa lalu, ketika belum banyak bermunculan penyakit aneh, Aka paling sering
sakit. Ada saja sakitnya. Di antara anak-anak lain, Aka paling sering
mengunjungi dokter. Tapi aku sayang dia. Mungkin sayangku sama Aka beberapa
persen lebih di antara saudara-saudara lainnya. Aka yang rapuh. Dia nyaris tak
pernah berlarian. Jalannya pelan-pelan. Eongannya juga lirih. Tapi Aka anak
yang manja. Dia anak termanja yang pernah kupelihara. Dia menyambutku tiap aku
pulang. Dia ingin selalu berada di dekatku tiap aku di rumah. Dia seperti tahu
suasana hatiku. Seolah menghiburku tiap aku sedih. Dia bermanja tiap aku
mengalami stres. Dia menghiburku dengan caranya.
Aka nyaris tak pernah berbuat
nakal. Dia anak manis. Sangat manis. Bukan cuma padaku, Aka sangat baik pada
saudara-saudaranya. Bayi-bayi diasuhnya, yang dewasa dijadikan teman. Tak
pernah kulihat dia marah apalagi sampai memukul atau mencakar saudaranya. Ah,
ibu kangen kamu, Nak…
Pada
sebuah kunjungan ke dokter, sebuah peristiwa yang sempat membuatku ngeri
terjadi. Menyeberangi perempatan Buah-Batu Bandung, tiba-tiba Aka bisa membuka
risleting tas jinjing yang kutaruh di bagian depan motor. Keluar dari tas dia
bingung lihat banyak kendaraan dan langsung lompat. Panik! Aku pun panik.
Untung -selalu ada untung, dia lompat ke arah sisi kiri jalan, tak menyeberangi
keramaian. Kutinggalkan motor di pinggir jalan, kususul dia. Di manakah dia?
Masuk gorong-gorong di bawah jalan! Untung -ya, selalu ada untung, belum begitu
jauh. Karena gorong-gorong tampaknya hanya seukuran tubuh kucing. Aku masih
bisa menjangkaunya. Kutarik badannya. Kupelukciumi. Para pengguna jalan
menatapiku aneh. Emang kenapa, masalah buat loe? Eh ga ding, zaman itu
istilahnya EGP, emang gue pikirin! 😀
Dengan
kondisinya yang tak pernah benar-benar sempurna, Aka menjadi anak tertuaku.
Setelah anak-anak datang dan pergi, ada yang bertualang dan ada yang terbang ke
RB, Aka tetap baik-baik saja. Dan ia bertahan menemaniku. Aka pernah menjalani
masa sulit dengan aneka sakitnya. Tapi itu pun terlewati, termasuk scabies
parah yang menyerangnya. Saat terakhir giginya juga mulai habis. Di luar itu,
Aka baik. Tak sehat betul, tapi juga tak jatuh sakit parah. Dan jangan salah,
Aka masih sanggup mengusir garong jahat yang menyatroni rumah. Ya, dia
baik-baik saja hingga hari-hari itu…
Ada
yang sedikit berubah pada perilaku Aka. Beberapa kali dia tidak pulang. Engga,
ga banyak. Karena Aka memang betul-betul ‘anak ibu’. Hanya 1-2 hari seingatku.
Saat itu kulihat ada yang aneh di matanya. Sebelah matanya. Buram. Tak jernih.
Sekarang -meski belum pernah konfirmasi ke dokter- kusimpulkan itu gejala
penyakit tertentu dan penyakit yang berat. Penampakan sebelah mata buram itu
kemudian kujumpai pada Bembi dan Item. Pada Onin dan Iku malah yang buram kedua
mata mereka, yang bisa jadi memang menunjukkan tingkat keparahan penyakit. Ya,
pada beberapa hari itu sikap Aka agak berbeda. Belum sempat kubawa ke dokter.
Hari
itu aku sempat memotretnya, saat dia menemani bayi Shachou. Aku masih ingat
tatapannya. Tatapan yang ternyata tatapan terakhir. Malamnya Aka tak pulang.
Beberapa hari itu aku mencarinya. Agak mustahil dia pergi jauh, karena Aka
jalannya sangat pelan. Terlihat sangat hati-hati. Apakah ‘tak ingin merepotkan
ibu’ telah membuatnya sanggup menempuh jarak cukup jauh, mencari tempat
persemayamannya sendiri pada ujung umurnya? Entahlah.. Kalau ditanya soal
berharap, aku akan selalu berharap bisa menemukannya lagi, bersamanya lagi.
Tapi kini aku hanya ingin mengucapkan terimakasih padanya.
Aka,
anak meong ibu, ibu menuliskan untuk melepaskan.. Bukan karena ibu mau
melupakan Aka. Bukan, sayang.. Ibu hanya berusaha ikhlas, melepaskan ingatan
yang tak juga pergi setelah hampir dua tahun ini. Aka.. Aka anak baik ibu. Aka
pasti diterima di mana pun berada. Di tengah keluarga manusia baru, atau di
tengah saudara-saudara di RB. Terimakasih sudah melewatkan waktu demikian
panjang menemani ibu ya. Aka akan selalu jadi anak manis ibu…
No comments