Akhirnya kematian itu datang juga…setelah berada di antara harap dan
cemas: apakah dia akan pulih ataukah akan pergi? Berikutnya muncul
pertanyaan lain: apakah aku sudah cukup berusaha? Tapi ya, dia sudah
pergi. Akhirnya dia pergi, mereka semua pergi, setelah berusaha melawan
sakitnya. Sekarang aku mencoba mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang
mengikatkanku pada mereka. Mereka yang pergi karena dijemput oleh
kematian, atau pergi ke tempat yang tak kuketahui. Barangkali kematian
pun telah menjemput mereka di tempat baru mereka. Lalu aku
menuliskannya.
Menulis buatku merupakan salah satu cara untuk ‘melepaskan’ sesuatu.
Ya, menulis –selain untuk mengekalkan ingatan- dapat melepaskan ingatan.
Bukan untuk membuangnya melainkan membuat konstruksi baru. Ingatan yang
kembali dihadirkan saat menulis bisa melahirkan pemahaman dan
perspektif baru. Inilah rekonstruksi itu: bisa ‘menerima’ sebuah
peristiwa yang telah lewat sekaligus menyikapinya dengan lebih bijak.
Ada banyak peristiwa yang bisa diperlakukan dengan cara itu. Tapi
kali ini aku mau bercerita tentang anak-anakku: kucing. Mereka ada dalam
keseharianku, memberi satu hal saja: kegembiraan. Bisajadi mereka
membuatku kesal, lelah, bahkan marah…tapi tetap: hanya mereka yang mampu
memberiku gembira dalam berbagai suasana, senang dan sedih.
***
Aku mau memulainya dengan seekor bocah yang baru beberapa hari lalu pergi. Bocah kecil yang (akhirnya) kunamai NONA. Tak sampai sebulan dia bersamaku, tapi aku sungguh kehilangan. Ya, ternyata aku sangat kehilangan bocah kecil itu. Ia, bocah kecil manja yang tiba-tiba hadir ditengah keluarga meong itu berhasil mencuri hatiku.
Nona lagi makan, digangguin Aa Onin |
Cerita berawal pada sebuah malam, akhir bulan lalu. Seekor bayangan
kecil mengendap-endap di luar pagar. Lalu terdengar kriuk-kriuk
mengunyah dry food yang memang sengaja kuletakkan untuk para kucing
musafir. Anak-anak mendekati si pendatang. Ada desis tak suka keluar
dari si pendatang, bocah kecil warna coklat itu. Tapi ia tetap
meneruskan makannya.
Hari-hari berikutnya dia suka singgah. Tak selalu memang. Seperti
para stray lainnya, mungkin rumahku menjadi salah satu persinggahan saja
bagi mereka. Hingga suatu kali kujumpai ia duduk lesu di depan salah
satu rumah tetangga. Kuangkat, kubawa pulang, kusediakan makanan di
halaman. Aku tak mengundangnya masuk rumah. Kepergian Bito masih
membekas, aku belum siap adopsi anak baru lagi. Aku hanya ingin
menunjukkan kalau dia bisa datang kapan pun dia mau. Kubersihkan kardus
sepatu dan kuletakkan di teras, dengan kain sarung guling tak terpakai
sebagai alas. Kubilang,”kamu tidur di situ ya, Cil.” Aku biasanya memanggil
‘Cil’ ke kucing-kucing kecil yang sliweran di sekitar rumah tinggalku.
Kuletakkan wadah berisi makanan kering dan air minum. Aku senang dia
mengerti. Ia mau tidur di teras rumah. Setiap kali dia coba masuk rumah,
kuingatkan: “Ga boleh masuk yaaa..di luar aja.” Dan dia nurut. Meski
sekali waktu juga tetap memaksa masuk dan ikut tidur-tiduran kalau Ibu
Meong lagi di rumah.
Tapi itu cuma bertahan 3 hari. Pada beberapa waktu berikutnya ia tak muncul. Aku khawatir. Anak kecil ini mengingatkanku pada Bito dan Poni. Penampilannya mirip Poni, tapi lebih kecil dan kurus. Poni
datang ke rumah dalam keadaan tak sehat juga. Dan tak lama kemudian
pergi. Ia juga seperti Bito, mengambil jarak permusuhan dengan penghuni
rumah. Bedanya, si kecil ini dengan Bito dan Poni, ia tidak takut sama
Ibu Meong. Sebaliknya malah ada tanda-tanda bakal manja.
Ketidakhadiran si kecil ini membuatku khawatir. Apalagi Bandung
sedang terus menerus diguyur hujan deras. Aku sempat mencarinya dan tak
ketemu. Sampai suatu hari, lebih seminggu kemudian, tak sengaja kudapati
dia sedang berdiam di sudut halaman rumput tetangga. Kubawa pulang. Tak
berpikir panjang lagi, bocah yang sempat kuberi tempat tinggal ‘hanya’
di teras saja itu pun kubawa masuk ke dalam. Aku terlalu
mengkhawatirkannya. Kumasukkan ke kandang. Selain kelihatannya tak bakal
cepat akrab dengan penghuni rumah lain, badannya juga tampak sakit.
Setelah beberapa hari di kandang, ia kelihatan lebih bersih dan
berisi. Kubuka pintu kandang, memberinya kesempatan untuk bebas. Ia
berlari keluar. Makan rumput, guling-guling di jalan, inspeksi setiap
sudut rumah. Tingkah lakunya lucu. Ia belum mau bergabung dengan yang
lain. Tapi dia tak pergi. Ia memilih tinggal dengan tetap mengambil
jarak dari penghuni rumah lainnya. Kandang kemudian jadi rumahnya.
Setiap jam tidur ia langsung mengambil posisi di rumah bertingkatnya
itu.
Biasanya Naga chan
cerita suasana rumah. Dia sudah membuat beberapa foto. Tapi kali ini
kularang. Biarkan dia berdiam di rumah dulu, tak perlu membuat
publikasi. Tunggu hingga dia benar-benar hommy berada di antara
saudara-saudara meongnya. Dia masih suka menggeram kepada yang lain
waktu Naga mulai publish fotonya. Meski sebetulnya sudah mulai akrab
dengan yang lain. Tidak semua sih
Batik tak telalu hirau dengan kehadiran anak baru ini. Pun Maiku. Naga,
seperti biasa selalu baik ke siapa saja. Om ganteng yang baik hati
Tapi dia paling akrab sama Onin, si cuek-jahil. Selebihnya, anak-anak
lain nyaris tak mau akrab sama dia. Bahkan cenderung galak.
Hingga kemudian, suatu hari kudapati si kecil muntah-muntah. Hari
berikutnya diare. Kuberikan imo untuk muntah-diare. Itu Hari Kamis.
Makannya masih bagus. Masih lincah tak mau diam. Hari Jumat hanya mau
makan ayam dan sedikit menyuap wf. Jumat malam hanya mau ayam. Sedikit.
Sabtu sudah mulai kusuap paksa. Wf dan kuning telur madu. Vitamin tentu
saja. Berbarengan dengan saudaranya yang lain karena kondisi mereka juga
sedang tak betul-betul sehat. Minggu siang kubawa di ke dokter di MTC,
Bandung.
Dokter memberi cairan infus dan obat injeksi. Disebutkan ada bakteri
di lambungnya. Belum ditemukan gejala sakit karena virus. “Tapi bisa
saja dia kena virus,” kata dokter. Pada esok paginya kutemukan jejak
darah di litter box. Panik. Saran dari teman-teman Naga: tak perlu
panik, mungkin karena sakit di lambungnya saja. Aku melanjutkan
memberinya obat dari dokter dan vitamin. Ah ya..nama Nona kuberikan saat
memberinya obat. Tertulis NN, no name, di plastik bungkus obat.
Kuanggap sebagai Nona, menjadi nama anak kecilku yang baru dibarengi
harapan dia akan kembali sehat.
Selasa malam kuperiksa litter, kering. Hanya tampak alas koran yang
basah. Setelah beberapa hari diare, seharian dia tak BAB? Ada yang
menyarankan yogurt untuk penanganan sementara. Aku tak punya punya
persediaan Lacto-B. Pulang kerja
besok kupastikan akan ke apotik. Tapi Rabu pagi itu kondisinya makin
mengkhawatirkan. Ijin dari tempat kerja, kubawa Nona ke dokter di Lauk
Mas. Ah, God, antrian ke-8! Kuajak Nona kecil jalan-jalan sementara
menunggu jadwal. Tapi perasaanku tak enak. Kudengar dia
membisikiku,”Nona mau pulang, Ibu..” Dan aku merasa aku harus pulang.
Sampai rumah masih berharap ada mujizat. Meski dari pertanda yang ada
dia akan segera pergi. Kubawa Nona dalam gendongan. Masih kubisiki
dia,”Sembuh ya, Nona kecil ibu.. Nanti maen kejar-kejaran lagi sama Aa
Onin. Bobo-bobo bareng ibu lagi..” Matanya memandangku. Redup. Tak ada
lagi kehidupan di sana. Nona menggeliat. Sekali. Dua kali. Kali yang
kedua dia pergi. Kepergian yang sangat tenang. Ah, Nona kecil, akhirnya
ibu kehilanganmu juga.
Selamat jalan, gadis kecil ibu…terimakasih sudah menemani ibu meong
dengan tingkah-tingkah lucu dan sikap manjamu. Baik-baik di RB ya..salam
untuk saudara-saudara meong yang sudah di sana. Ibu sayang Nona..
No comments